Mappasessu Luncurkan Buku “I La Galigo”: Menyulam Ulang Hukum dari Spirit Leluhur Bugis

Jurnalsoppeng.com  Soppeng, 17 Juli 2025 — Dalam suasana penuh khidmat dan reflektif, sosok intelektual hukum asal Sulawesi Selatan, Mappasessu, SH, MH, resmi meluncurkan karya intelektual terbarunya berjudul “I La Galigo: Rekonstruksi Epistemologi Hukum Lokal dan Spirit Ketuhanan Nusantara (Akar Filsafat Hukum)”. Peluncuran buku ini diadakan di Soppeng dan dihadiri oleh berbagai kalangan, mulai dari akademisi, tokoh adat, mahasiswa, hingga aktivis kebudayaan dan kemanusiaan.

Buku yang diterbitkan oleh Goresan Pena Publishing ini menyajikan pemikiran inovatif dengan mengangkat I La Galigo — epos legendaris Bugis — sebagai bukan hanya peninggalan sastra, tetapi juga sebagai sumber epistemologi hukum yang hidup dan membumi. Sebuah langkah intelektual berani yang menjembatani hukum modern dengan akar spiritualitas lokal Nusantara.

“Hukum bukan semata-mata deret pasal dan rumusan hukum. Ia adalah nafas kehidupan, pancaran nilai, dan warisan budaya. I La Galigo menyimpan paseng, ade', etika dan kosmis yang telah lama menjadi pedoman hidup masyarakat Bugis sebelum hukum formal itu lahir,” tegas Mappasessu dalam Berbagainya.

Dikenal sebagai pengacara publik, dosen di STAI Al Gazali Soppeng, serta aktivis kemanusiaan di LBH IWO Soppeng, Mappasessu memadukan pengalaman akademik dan praktik sosial dalam penulisan buku ini. Setebal 119 halaman, buku tersebut mengadopsi pendekatan dari Teori Hukum Relektif-Konstelatif Nusantara, yang menganjurkan model hukum berbasis nilai lokal, spiritualitas profetik, dan harmoni kosmos—antara langit, tanah, dan manusia.

Dalam narasi bukunya, sosok-sosok agung seperti Sawerigading, We Tenriabeng, dan Batara Guru tidak hanya dihadirkan sebagai karakter mitologis, tetapi sebagai figur profetik yang membawa pesan moral, keadilan, dan tanggung jawab sosial — cerminan hukum yang tidak terasing dari nilai-nilai kehidupan.

Dalam sesi wawancara, Mappasessu mengungkapkan keresahannya terhadap semakin menjauhnya sistem hukum dari nurani masyarakat:

“Saat hukum menjadi kering, beku, dan kehilangan makna, saat itulah kita harus kembali ke akar—menggali spirit hukum dari tanah sendiri, dari leluhur kita yang mengajarkan hukum sebagai etika hidup, bukan sekadar prosedur.”

Acara peluncuran ini juga dirangkaikan dengan diskusi publik bertema “Menghidupkan Kembali Hukum Profetik Nusantara”, menghadirkan tokoh adat Cenrana, akademisi lintas kampus, serta pegiat muda dari komunitas budaya. Diskusi ini membangkitkan antusiasme dan harapan akan munculnya paradigma hukum baru yang lebih berwenang dan berbahaya.

Banyak peserta mengapresiasi kehadiran buku ini sebagai sumbangan pemikiran penting di tengah kegelisahan atas arah hukum nasional yang sering kali terputus dari kebudayaan sendiri.

Menutup acara, Mappasessu menyampaikan harapannya agar buku ini tidak sekadar dibaca, tetapi menjadi pemantik dialog dan perenungan di kalangan mahasiswa hukum, pegiat adat, serta para penegak keadilan.

“Ini bukan hanya buku hukum. Ini adalah jalan pulang — menuju hukum yang lebih manusiawi, spiritual, dan berpijak pada bumi kita sendiri,” tutupnya.*

0 Komentar